Beberapa
pengaruh negative dari pembangunan pariwisata dapat dijelaskan sebagai berikut:
Kebocoran (Leakage)
Leakage atau kebocoran dalam pembangunan pariwisata dapat diakibatkan dari adanya
kebocoran yaitu keboran import dan kebocoran export.
Biasanya kebocoran import terjadi ketika terjadinya permintaan
terhadap peralatan-peralatan yang berstandar internasional yang digunakan dalam
industri pariwisata, bahan makanan dan minuman import yang tidak
mampu disediakan oleh masyarakat lokal atau dalam negeri. Besarnya
pendapatan dari sektor pariwisata juga diiringi oleh besarnya biaya yang harus
dikeluarkan untuk melakukan import terhadap produk yang dianggap
berstandar internasional. Sedangkan kebocoran export seringkali
terjadi pada pembangunan destinasi wisata khususnya pada negara miskin atau
berkembang yang cenderung memerlukan modal dan investasi yang besar untuk membangun
infrastruktur dan fasilitas wisata lainnya.
Kondisi
seperti ini, akan mengundang masuknya penanam modal asing yang memiliki modal
yang kuat untuk membangun resort atau hotel serta fasilitas dan
infrastruktur pariwisata, sebagai imbalannya, keuntungan usaha dan investasi
mereka akan mendorong uang mereka kembali ke negara mereka tanpa bisa
dihalangi, hal inilah yang disebut dengan “leakage” kebocoran export.
Hal ini
membenarkan pendapat dari Sinclair dan Sutcliffe (1988), yang menjelaskan bahwa
pengukuran manfaat ekonomi dari sektor pariwisata pada tingkat sub nasional
harunya menggunakan pemikiran dan data yang lebih kompleks untuk menghindari
terjadinya “leakages” kebocoran. Khusus masalah leakages
pada paper ini akan dibahas pada sub-bab khusus yakni economic leakages
dan strategi meminimalkan economic leakages.
Kebobolan (Enclave Tourism)
“Enclave
tourism” sering diasosiasikan bahwa sebuah destinasi wisata dianggap hanya
sebagai tempat persinggahan sebagai contohnya, sebuah perjalanan wisata dari
manajemen kapal pesiar dimana mereka hanya singgah pada sebuah destinasi tanpa
melewatkan malam atau menginap di hotel-hotel yang telah disediakan industri
lokal sebagai akibatnya dalam kedatangan wisatawan kapal pesiar tersebut
manfaatnya dianggap sangat rendah atau bahkan tidak memberikan manfaat secara
ekonomi bagi masyarakat di sebuah destinasi yang dikunjunginya.
Kenyataan
lain yang menyebabkan “enclave” adalah kedatangan wisatawan
yang melakukan perjalanan wisata yang dikelola oleh biro perjalanan wisata
asing dari “origin country” sebagai contohnya, mereka
menggunakan maskapai penerbangan milik perusahaan mereka sendiri, kemudian
mereka menginap di sebuah hotel yang di miliki oleh manajemen chain dari negara
mereka sendiri, berwisata dengan armada dari perusahaan chain milik pengusaha
mereka sendiri, dan dipramuwisatakan oleh pramuwisata dari negerinya sendiri,
dan sebagai akibatnya masyarakat lokal tidak memperoleh manfaat ekonomi secara
optimal.
Pembiayaan Infrastruktur (Infrastructure
Cost)
Tanpa
disadari ternyata pembangunan sektor pariwisata yang berstandar internasional
dapat menjadi beban biaya tersendiri bagi pemerintah dan akibatnya cenderung
akan dibebankan pada sektor pajak dalam artian untuk membangun infratruktur
tersebut, pendapatan sektor pajak harus ditingkatkan artinya pngutan pajak
terhadap masyarakat harus dinaikkan.
Pembangunan
pariwisata juga mengharuskan pemerintah untuk meningkatkan kualitas bandara,
jalan raya, dan infrastruktur pendukungnya, dan tentunya semua hal tersebut
memerlukan biaya yang tidak sedikit dan sangat dimungkinkan pemerintah akan
melakukan re-alokasi pada anggaran sektor lainnya seperti
misalnya pengurangan terhadap anggaran pendidikan dan kesehatan.
Kenyataan di
atas menguatkan pendapat Harris dan Harris (1994) yang mengkritisi bahwa
analisis terhadap dampak pariwisata harusnya menyertakan faktor standar
klasifikasi industri untuk tiap aktifitas pada industri pariwisata yang sering
dilupakan pada analisis dampak pariwisata.
Meningkatnya Harga-harga secara
Dramatis (Increase in Prices or Inflation)
Peningkatan
permintaan terhadap barang dan jasa dari wisatawan akan menyebabkan
meningkatnya harga secara beruntun “inflalsi” yang pastinya akan
berdampak negative bagi masyarakat lokal yang dalam kenyataannya tidak
mengalami peningkatan pendapatan secara proporsional artinya jikalau pendapatan
masyarakat lokal meningkat namun tidak sebanding dengan peningkatan harga-harga
akan menyebabkan daya beli masyarakat lokal menjadi rendah.
Pembangunan
pariwisata juga berhubungan dengan meningkatnya harga sewa rumah, harga tanah,
dan harga-harga property lainnya sehingga sangat dimungkinkan
masyarakat lokal tidak mampu membeli dan cenderung akan tergusur ke daerah
pinggiran yang harganya masih dapat dijangkau.
Sebagai
konsukuensi logis, pembangunan pariwisata juga berdampak pada meningkatnya
harga-harga barang konsumtif, biaya pendidikan, dan harga-harga kebutuhan pokok
lainnya sehingga pemenuhan akan kebutuhan pokok justru akan menjadi sulit bagi
penduduk lokal. Hal ini juga sering dilupakan dalam setiap pengukuran manfaat
pariwisata terhadap perekonomian pada sebuah Negara.
Ketergantungan Sektoral (Economic
Dependence)
Keanekaragaman
industri dalam sebuah perekonomian menunjukkan sehatnya sebuah negara, jika ada
sebuah negara yang hanya menggantungkan perekonomiannya pada salah satu sektor
tertentu seperti pariwisata misalnya, akan menjadikan sebuah negara menjadi
tergantung pada sektor pariwisata sebagai akibatnya ketahanan ekonomi menjadi
sangat beresiko tinggi.
Di beberapa
negara, khususnya negara berkembang yang memiliki sumberdaya yang terbatas
memang sudah sepantasnya mengembangkan pariwisata yang dianggap tidak
memerlukan sumberdaya yang besar namun pada negara yang memiliki sumberdaya
yang beranekaragam harusnya dapat juga mengembangkan sektor lainnya secara
proporsional.
Ketika
sektor pariwisata dianggap sebagai anak emas, dan sektor lainnya dianggap
sebagai anak diri, maka menurut Archer dan Cooper (1994), penelusuran tentang
manfaat dan dampak pariwisata terhadap ekonomi harusnya menyertakan variabel
sosial yang tidak pernah dihitung oleh fakar lainnya. Ketergantungan pada
sebuah sektor, dan ketergantungan pada kedatangan orang asing dapat
diasosiasikan hilangnya sebuah kemerdekaan sosial dan pada tingkat nasional,
sangat dimungkinkan sebuah negara akan kehilangan kemandirian dan sangat
tergantung pada sektor pariwisata.
Masalah Musiman (Seasonal
Characteristics)
Dalam
Industri pariwisata, dikenal adanya musim-musim tertentu, seperti misalnya
musim ramai “high season” dimana kedatangan wisatawan akan
mengalami puncaknya, tingkat hunian kamar akan mendekati tingkat hunian kamar
maksimal dan kondisi ini akan berdampak meningkatnya pendapatan bisnis
pariwisata. Sementara dikenal juga musim sepi “low season” di
mana kondisi ini rata-rata tingkat hunian kamar tidak sesuai dengan harapan
para pebisnis sebagai dampaknya pendapatan indutri pariwisata juga menurun hal
ini yang sering disebut “problem seasonal”
Sementara
ada kenyataan lain yang dihadapi oleh para pekerja, khususnya para pekerja
informal seperti sopir taksi, para pemijat tradisional, para pedagang acung,
mereka semua sangat tergantung pada kedatangan wisatawan, pada kondisi low
season sangat dimungkinkan mereka tidak memiliki lahan pekerjaan yang
pasti. Kenyataan di atas, menguatkan pendapat West (1993) yang menawarkan
SAM atau social accounting matrix untuk memecahkan masalah
pariwisata yang saling berhubungan dari waktu ke waktu, kebermanfaatan
pariwisata terhadap ekonomi harusnya berlaku proporsional untuk semua musim,
baik musim sepi maupun musim ramai wisatawan.
I Gusti Bagus Rai Utama
Mahasiswa Program S3 (Doktor) Pariwisata Universitas
Udayana
No comments:
Post a Comment