SEJARAH
Museum ini
pernah meraih rekor MURI atas karya ‘Sulaman Terbesar’, batik berukuran 90 x 400 cm2 pada tahun 2000, luas museum ini 400 m2 dan sekaligus dijadikan tempat tinggal
pemiliknya.
KOLEKSI
Dari segi bangunan museum ini sangat sederhana tetapi begitu
kita masuk kedalam musem banyak sekali kain-kain yang tersimpan, ini sangat
menakjubkan. Di meja tempat pembelian tiket kiita disambut dengan ramah oleh
pengelola museum ini, pengelola museum akan mendampingi kita untuk berkeliling
dan menceritakan tentang filosofi setiap batik. Di musem ini terdapat1.200
koleksi perbatikan yang terdiri dari 500 lembar kain batik
tulis, 560 batik
cap,124 canting (alat pembatik), dan 35 wajan serta
bahan pewarna, termasuk malam. Jenis-jenis batik yang ada di museum ini ialah
batik Lasem, indramayu,kedonguni, demak,
pekalongan, banyumas, Cirebon, jogja, dan solo. Batik kuno dari tahun 1700 juga
tersimpan rapi di museum ini, ruang perawatan khusus batik juga tersedia di
sini jadi perawatan batik sangat maksimal di sini. Untuk koleksi batik tulis
sendiri penyimpanannya harus di gulung agar tidak cepat rusak. Beberapa koleksinya yang terkenal antara lain: Kain Panjang
Soga Jawa (1950-1960), Kain Panjang Soga Ergan Lama (tahun tidak tercatat),
Sarung Isen-isen Antik (1880-1890), Sarung Isen-isen Antik (kelengan)
(1880-1890) buatan Nyonya Belanda EV. Zeuylen dari Pekalongan, dan Sarung Panjang Soga Jawa (1920-1930) buatan Nyonya Lie
Djing Kiem dari Yogyakarta. Semua koleksi yang ada dalam museum ini diperoleh
dari keluarga pendiri Museum Batik Yogyakarta. Selain batik tulis dan batik cap
disini juga terdapat koleksi batik printing, tetapi hasil yang dihasilkan tidak
sebagus batik tulis, ada juga macam-macam bordiran, pola border, sulaman dan kebaya encim walaupun
sulaman tidak sebanyak batik tetapi sangat menarik sekali. Jika anda beruntung,
anda dapat melihat pembuatan batik tulis, jika ingin belajar membatik di musem
ini dikenakan biaya Rp. 25.000,00 perjam.
Setiap batik mempunyai filosofi sendiri dan berhubungan
dengan adat Jawa itu sendiri. Batik Madu Bronto dikenakan untuk 2 sejoli yang
menjalin suatu hubungan atau lebih kita kenal dengan berpacaran, batik Sido
Dadi dikenakan jika kedua sejoli telah benar-benar serius dalam menjalin
hubungan, batik Semen Rante dikenakan di saat prosesi lamaran berlangsung,
untuk malam midodareni mengenakan batik Wahyu Temurun, batik Ceplok Dempel
dikenakan untuk menyebar undangan pernikahan dan saat pernikahan berlangung
menggunakan batik Sido Mukti. Untuk para orang tua dari masing-masing pengantin
menggunakan batik Truntum Angkara/Truntum Ceplok dan untuk nenek menggenakan
batik Sido Mulyo, selain prosesi pernikahan batik juga digunakan untuk acara
sunatan, batik yang dikenakan ialah batik Pringondani.
Motif yang dapat terlihat dari batik pesisir ini
biasanya dipengaruhi oleh akulturasi budaya, seperti budaya Arab, Belanda,
Jawa, dan Cina sehingga motifnya pun bebas. Ciri lain dari batik pesisir adalah
bentuk gambar dan warnanya yang bervariasi karena budaya pesisir memang lebih
terbuka dan dinamis untuk menerima budaya baru yang masuk.
Batik pedalaman sendiri adalah batik yang berasal
dari lingkungan keraton dan biasa dikenakan oleh kalangan bangsawan di keraton
Surakarta dan keraton Yogyakarta. Motif dari batik pedalaman ini sendiri lebih
monoton dengan warna kayu dan natural. Walaupun begitu, batik pedalaman
mempunyai nilai filosofi tinggi dan digunakan untuk ritual adat atau keagamaan
yang biasa dilaksanakan di lingkungan keraton.
Museum batik Yogyakarta menyimpan, mearawat dan melestarikan
warisan seni budaya yang adhi luhung dalam pengelolaan tradisi berbusana. Seni
batik Indonesia tetap terjaga dengan baik, meskipun proses pembuatan dan mutu
berkembang dari masa ke masa. Museum Batik Yogyakarta berupaya mewariskan
nilai-nilai seni batik yang adhi luhung kepada generasi muda Indonesia untuk
mampu melestarikan warisan seni batik bangsa Indonesia juga menanamkan rasa
handarbeni seni batik Indonesia sebagai milik bangsa Indonesia.
Menarikkan melancong sambil mendapat ilmu baru, monggo
mampir..
No comments:
Post a Comment